Sebagai komunitas, Playground Collective (PC) memang belum lama dibentuk. Dua pendiri PC, Riska Farasonalia dan Marlinda Oktavia Erwanti mengaku sebenarnya enggan memberi atribut baru kelompok ini sebagai komunitas.
"Kami lebih nyaman menamainya forum atau ajang teman - teman untuk melepaskan diri dari rutinitas sehari - hari," ujar Riska belum lama ini. Selama ini kegiatan PC lebih difokuskan kepada organizer atau pengelolaan band - band musik luar negeri yang ingin promosi ke Indonesia. Namun bukan sekadar band. PC sejak awal hanya ingin membantu band yang mengandalkan kemampuan sendiri tanpa sponsor alias band indie.
"Band - band dari luar yang menerapkan konsep Do It Yourself (DIY) yang berkeyakinan mereka dapat bergerak tanpa sokongan dari perusahaan atau sponsor tertentu. Itulah yang akan kami bantu," kata perempuan berusia 25 tahun tersebut. Acaranya biasanya diselenggarakan secara sederhana. Para pemain band bule itu juga mau diinapkan di rumah patner mereka, bukan di hotel.
Band aliran crust punk asal Swedia, Eskatologia, menjadi band pertama yang sukses "digarap" PC untuk tampil di Kota Semarang. Secara personal, Riska dan Marlin mengaku tidak banyak mengalami kesulitan mengingat ini bukan kali pertama mereka mengorganisir band luar negeri. Sebelumnya, mereka pernah membuat acara serupa dengan mendatangkan band dari Perancis dan Spanyol. Hanya saja tidak menggunakan bendera PC. Marlin menjelaskan, penggunaan nama / bendera kelompok lebih pada penanda semata.
"Namanya sendiri kami artikan sebagai zona bermain. Maksudnya kami memang ingin bersenang - senang dan berbagi," jelas Martin. Seiring berjalannya waktu, PC yang awalnya hanya diinisiasi oleh dua orang ini perlahan mendapat tenaga segar dari anak - anak muda yang tertarik dengan visi mereka. Sejak itu PC dikenal sebagai komunitas. Ketika konser musik band chaotic grindcore asal Australia, Idylls di studio 99, Sampangan, Sabtu (22/7) lalu misalnya, mereka mendapat respons positif dan dipadati banyak penonton yang sebagian besar adalah anak muda.
"Pada acara tersebut ada sekitar 5 band lokal yang turut bermain. Bahkan mereka mau urunan demi penyelenggaraan acara. Semangat seperti inilah yang akan terus kami jaga dan kami tularkan ke pihak lain," katanya. Dalam kesempatan itu, Marlin juga menjelaskan sejarah, bagaimana kelompoknya mendapat kepercayaan sebagai EO bagi band - band indie luar negeri. Awalnya mereka mendapat tawaran dari seorang kawan lewat situs jejaring sosial, yang ingin mengorganisir band luar negeri yang hendak tur ke Indonesia. Merasa tidak asing dengan bidang ini, Riska dan Marlin menerima tawaran tersebut. Terbukti, dengan kerja keras, PC berhasil memperoleh kepercayaan.
Ditanya soal basecamp, keduanya mengaku PC tidak mempunyai markas. Hanya saja bagi mereka yang ingin berkunjung dapat datang ke Jalan Jeruk V No 17, Lamper Lor, Semarang Selatan. Selebihnya untuk pertemuan rutin, mereka lebih suka kongkow kafe atau tempat nongkrong lainnya. Soal harapan ke depan, baik Riska maupun Marlin mengaku tak mau muluk - muluk. Yang penting bagi mereka, aktivitas ini dijalani dengan nyaman dan penuh kesenangan. "Mungkin terdengar sederhana. Tapi selama kami nyaman, PC akan terus bertahan," kata Riska.
"Kami lebih nyaman menamainya forum atau ajang teman - teman untuk melepaskan diri dari rutinitas sehari - hari," ujar Riska belum lama ini. Selama ini kegiatan PC lebih difokuskan kepada organizer atau pengelolaan band - band musik luar negeri yang ingin promosi ke Indonesia. Namun bukan sekadar band. PC sejak awal hanya ingin membantu band yang mengandalkan kemampuan sendiri tanpa sponsor alias band indie.
"Band - band dari luar yang menerapkan konsep Do It Yourself (DIY) yang berkeyakinan mereka dapat bergerak tanpa sokongan dari perusahaan atau sponsor tertentu. Itulah yang akan kami bantu," kata perempuan berusia 25 tahun tersebut. Acaranya biasanya diselenggarakan secara sederhana. Para pemain band bule itu juga mau diinapkan di rumah patner mereka, bukan di hotel.
Band aliran crust punk asal Swedia, Eskatologia, menjadi band pertama yang sukses "digarap" PC untuk tampil di Kota Semarang. Secara personal, Riska dan Marlin mengaku tidak banyak mengalami kesulitan mengingat ini bukan kali pertama mereka mengorganisir band luar negeri. Sebelumnya, mereka pernah membuat acara serupa dengan mendatangkan band dari Perancis dan Spanyol. Hanya saja tidak menggunakan bendera PC. Marlin menjelaskan, penggunaan nama / bendera kelompok lebih pada penanda semata.
"Namanya sendiri kami artikan sebagai zona bermain. Maksudnya kami memang ingin bersenang - senang dan berbagi," jelas Martin. Seiring berjalannya waktu, PC yang awalnya hanya diinisiasi oleh dua orang ini perlahan mendapat tenaga segar dari anak - anak muda yang tertarik dengan visi mereka. Sejak itu PC dikenal sebagai komunitas. Ketika konser musik band chaotic grindcore asal Australia, Idylls di studio 99, Sampangan, Sabtu (22/7) lalu misalnya, mereka mendapat respons positif dan dipadati banyak penonton yang sebagian besar adalah anak muda.
"Pada acara tersebut ada sekitar 5 band lokal yang turut bermain. Bahkan mereka mau urunan demi penyelenggaraan acara. Semangat seperti inilah yang akan terus kami jaga dan kami tularkan ke pihak lain," katanya. Dalam kesempatan itu, Marlin juga menjelaskan sejarah, bagaimana kelompoknya mendapat kepercayaan sebagai EO bagi band - band indie luar negeri. Awalnya mereka mendapat tawaran dari seorang kawan lewat situs jejaring sosial, yang ingin mengorganisir band luar negeri yang hendak tur ke Indonesia. Merasa tidak asing dengan bidang ini, Riska dan Marlin menerima tawaran tersebut. Terbukti, dengan kerja keras, PC berhasil memperoleh kepercayaan.
Ditanya soal basecamp, keduanya mengaku PC tidak mempunyai markas. Hanya saja bagi mereka yang ingin berkunjung dapat datang ke Jalan Jeruk V No 17, Lamper Lor, Semarang Selatan. Selebihnya untuk pertemuan rutin, mereka lebih suka kongkow kafe atau tempat nongkrong lainnya. Soal harapan ke depan, baik Riska maupun Marlin mengaku tak mau muluk - muluk. Yang penting bagi mereka, aktivitas ini dijalani dengan nyaman dan penuh kesenangan. "Mungkin terdengar sederhana. Tapi selama kami nyaman, PC akan terus bertahan," kata Riska.